PENDAHULUAN
Kepentingan usaha pertambangan
dan pelestarian lingkungan tak ubahnya bagaikan sebuah paradoks. Di satu sisi pertambangan
dibutuhkan demi pembangunan, tetapi di sisi lain lingkungan menjadi rusak
akibat aktivitas pertambangan yang tidak menerapkan teknologi yang ramah
lingkungan bersamaan dengan pengelolaan lingkungan yang baik.
Dampak kerusakan
lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan pertambangan salah satunya adalah
pembuangan tailing ke perairan atau daratan. Ketika tailing dari
hasil pertambangan dibuang di badan air atau daratan limbah unsur pencemar
kemungkinan tersebar di sekitar wilayah tersebut dan dapat menyebabkan
pencemaran lingkungan.
Bahaya pencemaran
lingkungan oleh arsen (As), merkuri (Hg), timbal (Pb), dan kadmium (Cd) mungkin
terbentuk jika tailing yang mengandung unsur-unsur tersebut tidak
ditangani secara tepat. Terutama di wilayah tropis dimana tingginya tingkat
pelapukan kimiawi dan aktivitas biokimia akan menunjang percepatan mobilisasi
unsur-unsur berpotensi racun. Salah satu akibat yang merugikan dari arsen bagi
kehidupan manusia adalah apabila air minum mengandung unsur tersebut melebihi
nilai ambang batas; dengan gejala keracunan kronis yang ditimbulkannya pada
tubuh manusia berupa iritasi usus, kerusakan syaraf dan sel.
Salah satu perusahaan
tambang di Indonesia yang banyak memberikan kerusakan bagi lingkungan akibat
limbah tailing-nya adalah PT. Freeport yang merupakan tambang emas
terbesar di dunia dengan cadangan terukur kurang lebih 3046 ton emas, 31
juta ton tembaga, dan 10 ribu ton lebih perak tersisa di pegunungan
Papua.
Prediksi
buangan tailing dan limbah batuan hasil pengerukan cadangan terbukti hingga
10 tahun ke depan adalah 2.7 milyar ton. Sehingga untuk keseluruhan
produksi di wilayah cadangan terbukti, PT. Freeport Indonesia akan
membuang lebih dari 5 milyar ton limbah batuan dan tailing. Untuk
menghasilkan 1 gram emas di Grasberg, yang merupakan wilayah paling
produktif, dihasilkan kurang lebih 1.73 ton limbah batuan dan 650 kg tailing.
Bisa dibayangkan, jika Grasberg mampu menghasilkan 234 kg emas setiap hari,
maka akan dihasilkan kurang lebih 15 ribu ton tailing per hari. Jika
dihitung dalam waktu satu tahun mencapai lebih dari 55 juta ton tailing
dari satu lokasi saja.
PT. FREEPORT
PT. Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan
Copper & Gold Inc.. Perusahaan ini adalah pembayar pajak
terbesar kepada Indonesia dan merupakan perusahaan penghasil konstentrat emas
dan tembaga terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah
melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua,
masing-masing tambang
Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Dalam melakukan
eksplorasi di dua tempat tersebut PT. Freeport melakukan perjanjian kontrak
sebanyak dua kali dengan pemerintah Indonesia. Perbandingan kontrak karya I dan
II adalah pada kontrak karya I luas arena kawasan pertambangan adalah 27.000
acres (11 ribu Ha) dengan jangka waktu 30 tahun, terhitung dari tahun 1967
sampai 1997. Fasilitas fiskalnya antara lain, pajak hariannya selama 3 tahun
setelah berproduksi dan tidak ada royalti sampai tahun 1986. Kewajiban
fiskalnya yaitu, pajak penghasilannya selama tahun 1976-1983 sebesar 35% dan
pada tahun 1983-kontrak berakhir sebesar 41,75%. Sedangkan kewajiban royaltinya
sejak tahun 1986 untuk tembaga sebesar 1,5-3,5% serta 1% untuk emas dan perak.
Kepemilikannya sebesar 100% oleh pihak asing sejak tahun 1967-1986 dan 0,5%
oleh pihak pemerintah Indonesia serta 91,5 FCX pada tahun 1986 sampai masa
kontrak berakhir.
Sedangkan
pada kontrak karya ke II luas arena kawasan pertambangan adalah 6,5 juta acres
(26 juta Ha) dengan jangka waktu 30 tahun, terhitung dari tahun 1991 sampai
2021 dan kemudian diperpanjang 20 tahun hingga tahun 2041. Dalam kontrak karya
II tidak ada fasilitas fiskal, namun kewajiban fiskalnya antara lain, pajak
penghasilan 35%, pajak dividen dan interest 15%, iuran tetap untuk wilayah KK,
pajak penghasilan karyawan, PPn dan pajak barang mewah, Pajak Bumi dan
Bangunan, pungutan, pajak, beban dan bea pemda serta bea pungutan lainnya.
Kewajiban royaltinya sejak tahun 1986 untuk tembaga sebesar 1,5-3,5% serta 1%
untuk emas dan perak. Sedangkan kepemilikannya 81,28% oleh FCX, 9,36% oleh
pemerintah Indonesia dan 9,36% oleh PT. Indocopper Investama.
Dalam
sejarah dan perkembangannya, PT. Freeport Indonesia (PTFI) memulai operasional
penambangannya setelah diresmikan melalui penanda tanganan Kontrak Karya dengan
pemerintah Indonesia, yang lalu berkembang hingga konstruksi skala besar yang
lalu dilanjutkan hingga ekspor perdana konsentrat emas dan tembaga yang pada
saat itu operasional penambangan masih dilakukan di areal bijih Ertsberg. Berkembangnya industri penambangan
PTFI ini semakin melejit setelah ditemukannya cadangan – cadangan bijih baru
kelas dunia seperti Grasberg oleh
para geologist.
Namun PT. Freeport Indonesia secara langsung
telah memberikan nilai plus dalam devisa Negara Indonesia, dalam bentuk dividend
dan royalty yang besar melalui pembayar pajaknya. PTFI juga memberikan manfaat
yang tidak langsung dalam bentuk upah, gaji, dan tunjanngan serta reinvestasi
dalam negeri, pembelian barang dan jasa, serta pembangunan daerah donasi.
Berikut adalahpemegang saham yang berada di PT. Freport:
·
Freeport-McMog Ran Copper & Gold
Inc. (AS) - 81,28%
·
Pemerintah Indonesia - 9,36%
·
PT. Indocopper Investama -
9,36%
Bahan Tambang yang Dihasilkan PT.
Freport adalah:
-Tembaga
-Emas
-Silver
-Molybdenum
-Rhenium
Selama ini hasil
bahan yang di tambang tidaklah jelas karena hasil tambang tersebut di kapalkan
ke luar indonesia untuk di murnikan sedangkan molybdenum dan rhenium adalah
merupakan sebuah hasil samping dari pemrosesan bijih tembaga.
A. OPERATIONAL PERUSAHAAN
Dalam
operasi pertambangan PT. Freeport Indonesia diterapkan 2 sistem motde
penambangan yaitu Penambangan Terbuka (Surface Mining) dan Pertambangan Bawah
Tanah (Undergroun Mining).
·
OPERASIONAL TAMBANG
TERBUKA GRASBERG
Tubuh
bijih Grasberg ditambang dengan menggunakan cara penambangan terbuka, yang
cocok untuk Grasberg karena keberadaannya yang dekat dengan permukaan. Dengan
penambangan terbuka, maka dimungkinkan pengerahan peralatan berat untuk
pekerjaan tanah yang sangat besar, yang mampu mencapai tingkat penambangan yang
tinggi pada biaya satuan yang paling rendah.
Pada
tambang terbuka Grasberg digunakan peralatan shovel dan truk besar untuk
menambang bahan. Bahan tersebut termasuk klasifikasi bijih atau limbah,
tergantung dari nilai ekonomis bahan tersebut.
Alat shovel menggali bahan
pada daerah-daerah berbeda di dalam tambang terbuka, dan memuat bahan ke atas
truk angkut untuk dibawa keluar tambang terbuka. Bijih ditempatkan ke dalam
alat penghancur bijih dan diangkut ke pabrik pengolahan (mill) untuk
diproses. Batuan limbah (overburden) dibuang dengan truk ke
daerah-daerah penempatan yang telah ditentukan, atau ke dalam alat penghancur
OHS pada jalan HEAT untuk ditempatkan di Wanagon Bawah di samping alat penimbun
(stacker).
Sarana-sarana
utama yang ada pada lokasi tambang terbuka termasuk operasional kereta gantung,
bengkel-bengkel perawatan, tambang batu gamping dan pabrik pemrosesan, serta
fungsi pendukung lainnya dan perkantoran.
·
OPERASIONAL
TAMBANG BAWAH TANAH
PTFI
menggunakan teknik ambrukan pada sistem tambang bawah tanah (Underground
Mining) , metode ini biasa disebut dengan metode Block Caving. Block Caving adalah
metode penambangan yang bertujuan untuk memotong bagian bawah dari blok bijih
pada level undercut sehingga blok
bijih tersebut mengalami keruntuhan. Metode ini diterapkan terutama pada blok
badan bijih yang besar karena tingkat produksinya yang lebih tinggi. Bidang
pada massa batuan dengan ukuran yang sudah di tentukan di ledakan pada tahap
level Undercut sehingga massa batuan yang berada diatasnya akan runtuh.
Penarikan bijih hasil runtuhan pada bagian bawah kolom bijih menyebabkan proses
runtuhan akan berlanjut keatas sampai semua bijih diatas level undercut hancur
menjadi ukuran yang sesuai untuk proses selanjutnya dikirim ke pabrik pemroses
(mill). PTFI
menerapkan Sistem Block Caving ini pada zona – zona tertentu antara lain Gunung
Bijih Timur (GBT), Intermediate Ore Zone (IOZ), Deep Ore Zone (DOZ), Mill Level
Zone (MLZ), East Stockwork Zone (ESZ).
Analisis
Limbah P.T. Freeport Indonesia
Sumbangan Freeport terhadap bangkrutnya kondisi
alam dan lingkungan sangatlah besar. Menurut perhitungan WALHI pada
tahun 2001, total limbah batuan yang dihasilkan PT. Freeport Indonesia mencapai
1.4 milyar ton. Masih ditambah lagi, buangan limbah tambang (tailing) ke sungai
Ajkwa sebesar 536 juta ton. Total limbah batuan dan tailing PT Freeport
mencapai hampir 2 milyar ton lebih.
Freeport tidak memenuhi perintah membangun bendungan
penampungan tailing yang sesuai dengan standar teknis legal untuk bendungan,
namun masih menggunakan tanggul (levee) yang tidak cukup kuat. Selain itu
Freeport mengandalkan izin yang cacat hukum dari pegawai pemerintah setempat
untuk menggunakan sistem sungai dataran tinggi untuk memindahkan tailing.
Berdasarkan analisis citra LANDSAT TM tahun 2002 yang
dilakukan oleh tim WALHI, limbah tambang (tailing) Freeport tersebar
seluas 35,000 ha lebih di DAS Ajkwa. Limbah tambang masih menyebar seluas
85,000 hektar di wilayah muara laut, yang jika keduanya dijumlahkan
setara dengan Jabodetabek. Total sebaran tailing bahkan lebih luas
dari pada luas area Blok A (Grasberg) yang saat ini sedang berproduksi.
Peningkatan produksi selama 5 tahun hingga 250,000 ton bijih perhari dapat
diduga memperluas sebaran tailing, baik di sungai maupun muara sungai.
Freeport tidak lagi menyebutkan Ajkwa sebagai sungai, tetapi sebagai
wilayah tempatan tailing yang “disetujui” oleh Pemerintah Republik
Indonesia. Freeport bahkan menyebutkan Sungai Ajkwa sebagai
sarana transportasi dan pengolahan tailing hal mana sebetulnya bertentangan
dengan hukum di Indonesia.
Freeport mencemari sistem sungai dan lingkungan muara sungai,
yang melanggar standar baku mutu air sepanjang tahun 2004 hingga 2006. Dan yang
tidak kalah parah adalah membuang Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage) tanpa
memiliki surat izin limbah bahan berbahaya beracun. Buangan Air Asam Batuan
sudah sampai pada tingkatan yang melanggar standar limbah cair industri,
membahayakan air tanah, dan gagal membangun pos-pos pemantauan seperti yang
telah diperintahkan.
Kandungan logam berat tembaga (Cu) yang melampaui ambang
batas yang diperkenankan. Kandungan tembaga terlarut dalam efluent air limbah
Freeport yang dilepaskan ke sungai maupun ke Muara S. Ajkwa 2 kali lipat dari
ambang yang diperkenankan. Sementara itu untuk kandungan padatan tersuspensi
(Total Suspended Solid) yang dibuang 25 kali lipat dari yang diperkenankan.
Sistem pembuangan limbah Freeport mengancam mata rantai
makanan yang terindikasi kewat kandungan logam berat yaitu selenium (Se),
timbal (Pb), arsenik (As), seng (Zn), mangan (Mn), dan tembaga (Cu) pada
sejumlah spesies kunci yaitu: burung raja udang, maleo, dan kausari serta
sejumlah mamalia yang kadangkala dikonsumsi penduduk setempat. Sistem
pembuangan limbah Freeport menghancurkan habitat muara sungai Ajkwa secara
signifikan. Hal ini diindikasikan oleh peningkatan kekeruhan muara dan
tersumbatnya aliran ke muara. Dalam jangka panjang wilayah muara seluas 21
sampai 63 Km persegi akan rusak.
Dampak Pencemaran Limbah
P.T. Freeport Indonesia
·
Limbah Tambang
Tailing
adalah
bahan-bahan yang dibuang setelah proses pemisahan material berharga dari
material yang tidak berharga dari suatu bijih. Tailing yang merupakan
limbah hasil pengolahan bijih sudah dianggap tidak berpotensi lagi untuk di
manfaatkan, akan tetapi dengan hasil penelitian dan kemanjuan teknologi saat
ini tailing tersebut masih dapat dimanfaatkan untuk bahan bangunan.
Keberadaan
tailing dalam dunia pertambangan tidak bisa dihindari, dari penggalian
atau penambangan yang dilakukan hanya < 3% bijih menjadi produk utama,
produk sampingan, sisanya menjadi waste dan tailing. Secara fisik
komposisi tailing terdiri dari 50% fraksi pasir halus dengan diameter 0,075 –
0,4 mm, dan sisanya berupa fraksi lempung dengan diameter 0,075 mm. Umumnya tailing
hasil penambangan mengandung mineral yang secara langsung tergantung pada
komposisi bijih yang diusahakan.
Tailing
hasil
penambangan emas umumnya mengandung mineral inert (tidak aktif) seperti;
kuarsa, kalsit dan berbagai jenis aluminosilikat, serta biasanya masih
mengandung emas. Tailing hasil penambangan emas mengandung salah satu
atau lebih bahan berbahaya beracun seperti; Arsen (As), Kadmium (Cd), Timbal
(pb), Merkuri (Hg) Sianida (Cn) dan lainnya. Logam-logam yang berada dalam tailing
sebagian adalah logam berat yang masuk dalam kategori limbah bahan
berbahaya dan beracun (B3) Mineral berkadar belerang tinggi dalam tailing
sering menjadi satu sumber potensial bagi timbulnya air asam tambang.
Pemanfaatan Tailing
Dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang pesat, dan untuk
memenuhi tuntutan hidup serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat, perlu
diimbangi dengan peningkatan kebutuhan akan perumahan, infratruktur, dan sarana
penunjang kegiatan sehari-hari seperti perkantoran, sekolah, pasar dan lainnya.
Industri konstruksi ini membutuhkan sumber daya alam yang besar seperti, pasir,
gamping, alumunium, besi dan juga kayu. Eksploitasi sumber daya alam ini akan
menyebabkan rusaknya hutan, lahan pertanian, dan tentunya berkurangnya sumber
daya alam. Salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan cara
meningkatkan pemanfaatan tailing sebagai bahan bangunan.
Pengembangan bahan bangunan dari tailing ini selain
dapat menunjang kebutuhan pembangunan juga dapat memecahkan masalah lingkungan
yang selanjutnya produk ini dapat dikategorikan sebagai bahan bangunan ekologis
Pemanfaatan tailing untuk bahan bangunan atau konstruksi,
telah dilakukan oleh beberapa negara termasuk Indonesia melalui
penelitian-penelitian, diantaranya :
a. Tailing sebagai material konstruksi ringan
Tailing hasil tambang
bijih porpiri di Negara Bagian Arizona, Amerika Serikat, telah dimanfaatkan
untuk membuat suatu material konstruksi kelas ringan, yang dikenal secara umum
sebagai autoclaved aerated cement , disingkatan AAC dengan bahan baku
utama silika (SiO2). Tambang porpiri di negara bagian ini umumnya batuan
induknya berupa batuan silika, sehingga jumlah pasir silika cukup berlimpah. Ukuran
butir dari pasir silikanya bundar kecil yang pada hakekatnya setara dengan
ukuran bentuk butir silika yang di haruskan untuk menghasilkan material
bangunan ringan AAC.
Material bangunan ringan AAC dengan bahan baku pasir silika
dari tailing tersebut, mempunyai sifat sebagai isolator panas yang sangat baik,
bahan kedap suara dan material dengan kualitas yang diinginkan serta sebanding
dengan material bahan bangunan AAC yang menggunakan pasir silika yang bersumber
dari bahan material bukan tailing. (www.freepatentsonline.com)
b. Bahan bangunan dan keramik
Ahli geologi dan tambang dari tambang Idaho-Maryland, USA,
menemukan suatu proses penghalusan dari tailing atau batuan limbah dari tambang
tersebut untuk dibuat material bahan bangunan dan keramik, melalui proses CeramextTM.
Poses ini dilakukan pada tekanan pada ruangan hampa yang dipanaskan
(Idaho-Maryland Mining Corp, 2008).
c. Tailing untuk pembuatan batu bata
Di daerah pedesaan negara Jamaica, pembangunan perumahan
sangat kurang dikarenakan mahalnya bahan bangunan. Jamaica Bauxite Institute,
bekerjasama dengan Universitas Toronto, mengembangkan bahan bangunan berupa
batu bata yang murah dengan menggunakan tailing hasil industri aluminium negeri
itu (Dennis Morr and Wesley Harley).
d. Tailng untuk pembuatan semen kekuatan tinggi, keramik,
batubata.
Pada tahun 1990, Akademi Ilmu Geologi Cina mendirikan Pusat
Teknik untuk pemanfaatan tailing, dan merupakan yang pertama di Negeri China,
untuk melakukan penyelidikan daerah tailing yang prospek untuk dimanfaatan
kembali. Lembaga ini menganalisa sifat-sifat sumber daya dan potensi dari
berbagai jenis tailing, dan mengembangkan teknologi untuk membuat sejumlah
produk-produk yang berharga dari tailing. Produk-produk ini termasuk semen
kekuatan tinggi, bahan bangunan keramik, batu bata, dan bahan-bahan hiasan yang
dibuat dari granit (web@acca21.edu.cn).
e. Tailing sebagai campuran beton
PT Freeport Indonesia bekerja sama dengan Institut Teknologi
Bandung telah berhasil membuat beton dengan bahan dasar tailing dari
pertambangan tembaga, dan emas, dan merupakan hasil penelitian beberapa tahun.
Penggunaan tailing sebagai bahan dasar pembuatan beton telah dilakukan pada
tahun 2001 untuk pembangunan jalan menuju tambang Gresberg di M.28 (foto 1),
pembangunan jembatan S. Kaoga (foto 2), dan beberapa konstruksi lainnya. Beton
ini disebut Beton Polimer dengan komposisi semen portland 29,4%, polimer 0,6 %,
dan tailing 70%, dan telah memperoleh sartifikat Pengujian dari Departemen KIMPRASWIL
pada tahun 2004 (PT Freeport Indonesia, 2006). Saat ini tailing juga telah
digunakan untuk bahan bangunan untuk pembangunan perumahan karyawan.
f. Tailing untuk membuat paving block
Penelitian yang dilakukan oleh Tim KPP Konservasi di P. Bintan,
mengungkapkan bahwa tailing hasil pencucian bauksit telah dicoba untuk dibuat
bahan bangunan oleh ex karyawan PT Aneka Tambang di P. Bintan, dan berhasil
baik. Prosesnya sederhana, tailing hasil pencucian bauksit, dicuci kembali
untuk menghilangkan sisa air laut yang terdapat pada tailing, kemudian di
saring. Dengan tambahan semen, kemudian dengan alat sederhana (foto 3) dicetak
menjadi batako (foto 4), dan paving block (foto 5). Hasil inovatif
tersebut telah digunakan untuk pembatas jalan, dan tembok pagar masjid yang
terletak di komplek perkantoran PT Aneka Tambang (foto 6). dan banyak diminati
oleh rakyat setempat karena murah.
Overburden dan Air Asam Tambang
Overburden adalah batuan yang harus dikupas agar bijih yang ditambang
dapat dijangkau dan diolah untuk diambil logamnya untuk keperluan komersial.
Banyak logam terdapat di alam dalam bentuk mineral sulfida. Pada saat bijih
ditambang dan overburden yang mengandung sulfida terpapar, maka reaksi
air,oksigen dan bakteri alami berpotensi membentuk asam belerang. Air bersifat
asam tersebut dapat melarutkan logam yang terkandung di dalam batuan overbuden
dan terbawa dalam sistem pembuangan air, dan apabila tidak dikelola dengan baik
dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Proses tersebut dikenal
dengan nama air asam tambang.
Cara mengatasi overbuden
Di dalam pengelolaan asam tambang diperlukan pengawasan agar
tidak terjadi penyelewengan di dalam pengelolaannya, karena di dalam
pengelolaan pada tambang ditakutkan terdapat penyelengan yang di lakukan oleh
pihak yang tidak bertanggung jawab apalagi perusahaan sebesar PT.Freeport. cara
yang laen yaitu dengan cara menempatkan overburden pada daerah-daerah
terkelola di sekitar tambang terbuka Grasberg. Atau dengan cara dilakukan penampung dan pengolahan air asam tambang
yang ada, bersamaan upaya proses pencampuran dengan batu gamping dan penutupan
daerah penempatan overburden dengan batu gamping guna mengelola
pembentukan air asam tambang di masa datang.
Upaya
Penanganan Limbah berdasarkan Strategi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Sesuai dengan maksud dari strategi pengelolaan kualitas
lingkungan adalah cara untuk menentukan kualitas lingkungan yang lebih baik,
maka ada 5 cara yang dapat dilakukan :
1.
Tata letak lokasi ruang
2.
Teknologi, menerapkan teknologi bersih
3.
Sistem Pengelolaan limbah
4.
Pengelolaan Media Lingkungan
5.
Perubahan Baku Mutu
Berikut ini akan dibahas kelimanya....
1.
Tata Letak Lokasi
Pertama, tata letak lokasi ruang.
Dilihat dari lokasi penambangan utama P.T. Freeport Indonesia Blok A Grassberg
yang berada di ketinggian 4200 m di permukaan laut. Lokasi penambangan P.T.
Freeport Indonesia adalah berupa gunung cadas yang kaya akan mineral tambang.
Tetapi, dilihat dari ketinggiannya yang berada 4200 meter di atas permukaan
laut, lokasi penambangan ini tentu saja merupakan kawasan yang ditopang oleh
ekosistem di bawahnya. Jadi, apabila kawasan ini terganggu maka akan merusak
keseimbangan ekosistem yang berada di bawahnya. Jadi seharusnya, apabila akan
dilakukan penambangan di lokasi penambangan P.T. Freeport Indonesia yang
sekarang maka harus dilakukan studi mengenai dampak kerusakan lingkungan yang
akan terjadi yang dilakukan secara komprehensif dan mendalam. Jelas, hal ini
tidak dilakukan oleh P.T. Freeport maupun oleh Pemerintah Indonesia yang dalam hal
ini sebagai pemilik wilayah.
2.
Penerapan Teknologi Bersih
Kedua, penerapan teknologi bersih dalam penambangan. Tentu
sangat sulit menerapkan teknologi bersih dalam kasus P.T. Freeport. Karena
untuk menghasilkan 1 gram emas di Grassberg, yang merupakan wilayah
paling produktif, dihasilkan kurang lebih 1.73 ton limbah batuan dan 650 kg
tailing. Bisa dibayangkan, jika Grasberg mampu menghasilkan 234 kg emas setiap
hari, maka akan dihasilkan kurang lebih 15 ribu ton tailing per hari.
Jika dihitung dalam waktu satu tahun mencapai lebih dari 55 juta ton
tailing dari satu lokasi saja. Sejak tahun 1995, jumlah batuan limbah yang
telah dibuang sebanyak 420 juta ton. Di akhir
masa tambang, jumlah total limbah batuan adalah 4 milyar ton. Di akhir masa
tambang ketinggian tumpukan limbah batuan adalah 500 meter. Diperkirakan, tambang Grasberg harus membuang 2,8 milyar ton
batuan penutup hingga penambangan berakhir tahun 2041.
Melakukan efisiensi konversi bahan dalam kegiatan
pertambangan merupakan hal yang hamper mustahil dilakukan karena pada dasarnya,
kegiatan pertambangan adalah kegiatan eksploitasi sumber daya alam
besar-besaran. Dalam kasus P.T. Freeport, yang dapat dilakukan hanyalah
meyimpan lapisan tanah atas (top soil) hasil pengupasan yang dilakukan untuk mendapatkan
mineral tambang (ore) di bawahnya untuk menutup kembali dan penghijauan lokasi
pertambangan yang sudah tidak produktif lagi nantinya.
3.
Sistem Pengelolaan Limbah
Sistem pengelolaan limbah yang dilakukan P.T. Freeport
Indonesia saat ini adalah limbah batuan akan disimpan pada ketinggian 4200 m di sekitar Grassberg. Total ketinggian
limbah batuan akan mencapai lebih dari 200 meter pada tahun 2025. Sementara
limbah tambang secara sengaja dan terbuka akan dibuang ke Sungai Ajkwa yang dengan tegas disebutkan
sebagai wilayah penempatan tailing sebelum mengalir ke laut Arafura.
Tempat penyimpanan limbah batuan dilakukan di Danau Wanagon.
Danau Wanagon bukanlah danau seperti dalam bayangan umum. Wanagon lebih tepat
disebut basin (kubangan air besar) yang terbentuk dari air hujan. Sejak PT
Freeport Indonesia (FI) menambang mineral di Grasberg tahun 1992, Wanagon
dipilih sebagai lokasi pembuangan batuan penutup (overburden) yang menutupi
mineralnya (ore).
Penggunaan Danau Wanagon menjadi tempat penimbunan limbah
batuan telah merupakan pencemaran air dan merubah fungsi danau yang menjadi
sumber air bagi masyarakat sekitarnya, seperti dari Desa Banti/Waa. P.T.
Freeport dan pemerintah Indonesia telah melanggar peraturan yang terkait dengan
pembuangan limbah tersebut ke Danau Wanagon, diantaranya adalah :
1.
UU no. 4 tahun 1982 yang telah dirubah menjadi UU no.
23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
2.
PP no. 20
tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air.
3.
PP no. 18 tahun 1994 jo
PP no. 85 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3. Dari penjelasan di atas
jelas dikatakan bahwa limbah batuan Grasberg merupakan limbah B3 karena
mengandung logam berat. Dalam pasal 3 menyatakan "Setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan limbah B3 dilarang membuang
limbah B3 yang dihasilkannya itu secara langsung ke dalam media lingkungan
bidup tanpa pengolahan terlebih dahulu" dan pasal 29 ayat 2 menyatakan
bahwa "Tempat penyimpanan limbah B3 sebagaimana dimaksud paa ayat 1 wajib
memenuhi syarat : a). lokasi tempat penyimpanan yang bebas banjir, tidak rawan
bencana, dan di luar kawasan lindung serta sesuai dengan rencana tata ruang.
B). rancangan bangunan disesuaikan dengan jumlah, karakteristik limbah B3 dan
upaya pengendalian pencemaran lingkungan".
4.
Kemudian berdasarkan PP
18 tahun 1994 jo PP 85 tahun 1999 jelas pembuangan limbah batuan yang merupakan
limbah B3 secara langsung ke Danau Wanagon merupakan pelanggaran hukum.
Selain itu, penggunaan Sungai Ajkwa sebagai wilayah
penempatan tailing sebelum mengalir ke laut Arafura adalah permasalahan
lainnya. Freeport tidak lagi menyebutkan
Ajkwa sebagai sungai, tetapi sebagai wilayah tempatan tailing yang “disetujui” oleh Pemerintah
Republik Indonesia. Freeport bahkan menyebutkan Sungai Ajkwa sebagai sarana transportasi dan pengolahan tailing
hal mana sebetulnya bertentangan dengan hukum di Indonesia.
4.
Pengelolaan Media Lingkungan
Pengelolaan media lingkungan agar media lingkungan mempunyai
daya dukung lebih tinggi tidak dilakukan oleh P.T. Freeport. Penggunaan Sungai
Ajkwa sebagai ADA (Ajkwa Deposition Area) untuk mengalirkan limbah tailing
sebelum dialirkan ke Laut Arafura dan menumpuk limbah batuan (overburden) di
Danau Wanagon adalah contohnya. Tanpa melakukan modifikasi media lingkungan dan
bahkan tanpa pengolahan sedikitpun, P.T. Freeport membuang begitu saja
limbah-limbah tersebut.
Sekarang, sangat sulit dan hampir tidak mungkin untuk
mengembalikan Sungai Ajkwa dan Danau Wanagon ke fungsi ekologis seperti
sediakala. Proses Sedimentasi yang terjadi di sepanjang DAS Ajkwa dan
tumpukan limbah batuan yang berada di
Danau Wanagon suddah terlalu parah. Bahkan, di Danau Wanagon saat ini yang
tersisa hanyalah batuan dan pasir. Tidak tersisa sedikitpun pemandangan yang menunjukkan
kalau tadinya Wanagon adalah suatu tempat yang mempunyai fungsi ekologis
sebagai danau.
5.
Perubahan Baku Mutu
Melakukan perubahan baku mutu
yang dilakukan apabila daya dukung lingkungan yang ada tidak dapat mencerna
bahan-bahan luar atau limbah yang masuk ke dalam lingkungan tersebut. Cara ini
sudah tidak mungkin dilakukan pada kasus P.T. Freeport yang sudah sedimikian
rupa. Kandungan tembaga (Cu) serta
TSS (Total Suspended Solids) yang ada
sudah jauh melebihi batas yang diperbolehkan. Di bawah ini terdapat tabel yang
menggambarkan parameter pencemar di Sungai Ajkwa.
• Sungai Ajkwa Bagian Bawah (Lower
Ajkwa River) mengandung 28 hingga 42 mikro gram
per liter (µg/L) tembaga larut
(dissolved copper), dua kali lipat melebihi batas legal untuk air
tawar si Indonesia yaitu 20 µg/L,
dan jauh melampaui acuan untuk air tawar yang diterapkan pemerintah Australia,
yaitu 5,5 µg/L. Lebih jauh ke hilir, kandungan tembaga larut pada air tawar
sebelum Muara Ajkwa juga melanggar batas dengan 22 – 25 µg/L dan bisa mencapai
60 µg/L.
• Untuk kondisi air laut di Muara
Ajkwa Bagian Bawah, standar ASEAN dan Indonesia untuk tembaga larut adalah 8
µg/L, dan acuan pemerintah Australia adalah 1,3 µg/L. Pencemaran Freeport-Rio
Tinto di daerah ini juga melebihi batas legal: kandungan tembaga larut mencapai
rata-rata 16 µg/L dengan rentang tertinggi 36 µg/L. Batas legal total padatan
tersuspensi (total suspended solids, TSS) dalam air tawar adalah 50 mg/L.
Sedangkan tailing yang mencemari sungai-sungai di dataran tinggi memiliki
tingkat TSS mencapai ratusan ribu mg/L. Tigapuluh kilometer masuk ke dataran
rendah Daerah Pengendapan Ajkwa, tingkat TSS di Sungai Ajkwa bagian Bawah
mencapai seratus kali lipat dari batas legal. Lebih jauh ke hilir dari ADA, di
Muara Ajkwa bagian bawah, TSS mencapai 1.300 mg/L, 25 kali lipat melampaui
batas. Mutu air di perairan hutan bakau di Muara Ajkwa juga 10 kali lipat
melampaui batas legal untuk TSS di lingkungan air laut (80 mg/L), dengan TSS
rata-rata 900 mg/L.
Demi mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah di masa
datang, sekali lagi Walhi meminta pemerintah untuk melaksanakan pengambilan
sampel secara berkala dan cermat, daripada mengandalkan laporan dari
perusahaan. Pemerintah juga harus menerbitkan semua informasi lingkungan pada
masyarakat sesuai Undang-undang Lingkungan Hidup (1997). Mengkaji ulang
peraturan pajak dan royalti demi meningkatkan keuntungan bagi komunitas yang
terkena dampak, propinsi Papua, demi mengurangi beban kerusakan lingkngan
sejauh ini.
Membentuk Panel Independen untuk memetakan sejumlah skenario
bagi masa depan Freeport, termasuk tanggal penutupan, pengolahan (processing)
dan pengelolaan limbah. Kemudian pemerintah harus menyewa konsultan independen
untuk mengkaji setiap skenario dari segi sosial dan teknis secara rinci dan
independen. Kajian ini kemudian harus digunakan sebagai dasar untuk pembahasan
mengenai masa depan tambang oleh penduduk lokal dan pihak berkepentingan
lainnya.
6.
Pengelolaan dan Daur Ulang Limbah
Limbah,
termasuk limbah berbahaya (B3) dalam jumlah kecil, dipilah-pilah pada titik pengumpulan
asal. Pengumpulan, pengemasan, penyimpanan limbah B3 yang dihasilkan dari
pekerjaan ujicoba terhadap sampel bijih logam, laboratorium analitis, dan
proses-proses lainnya dikelola dengan menaati ketentuan Pemerintah Indonesia.
Limbah B3 dipilah dan disimpan di gudang-gudang khusus hingga pada saatnya
dikirim ke instalasi pembuangan limbah berbahaya lainnya di Indonesia yang
telah disetujui. Limbah medis dipilah dari limbah lainnya dan ditempatkan di
dalam wadah khusus untuk pemusnahan akhir pada instalasi insinerator limbah
medis bersuhu tinggi yang sudah ada izinnya dan berada di lokasi.
7. Penutupan
Tambang
PT Freeport Indonesia mempunyai rencana penutupan
tambang yang merupakan analisa dan strategi terbaru untuk pengelolaan
penutupan. Adapun strategi penutupan yang dianut PT Freeport Indonesia secara
keseluruhan adalah mengidentifikasi, memantau dan mengurangi dampak, baik
terhadap lingkungan maupun sosial, melalui program-program pengelolaan yang
tengah berjalan selama tahapan operasional. Hal ini guna menjamin agar proses decommissioning
(penutupan kegiatan dan sarana), reklamasi dan kegiatan pemantauan lingkungan
yang diperlukan pada saat penutupan dan bahwa selama tahapan pasca penutupan,
seluruh kegiatan dapat dikelola dengan efektif; dampak penutupan tambang
terhadap ekonomi dan masyarakat setempat dapat dikelola dengan baik, dan
serah-terima setiap aset yang tersisa, berikut pengalihan tanggung jawab atas
kawasan tambang tersebut kepada pemerintah Indonesia dapat berjalan lancar dan
efisien.
8. Reklamasi
dan Penghijauan Kembali
1. Daerah
Dataran Tinggi
Kajian-kajian intensif yang telah
dilakukan berhasil mengidentifikasi jenis-jenis tanaman dataran tinggi yang
dapat tumbuh subur di atas lahan reklamasi, dan penelitian saat ini dilakukan
dirancang untuk menemukan cara meningkatkan daya tahan spesies-spesies tersebut
pada kondisi yang sulit. Titik berat penelitian yang dilakukan selama tahun
2005 adalah peran iklim setempat dalam pembentukan lumut serta suksesi alami
yang cepat pada daerah penempatan akhir overburden. Adapun manfaat dari
transplantasi diamati dari keberhasilan menumbuhkan tanaman alami yang
dihasilkan dan/atau diperkenalkan lewat transplantasi pada daerah uji coba.
Spesies-spesies asli Deschampsia klossii, Anaphalis helwigii dan
berbagai herba asli terbukti dapat diprediksi dan memilih daya tahan sangat
tinggi terhadap kondisi di Grasberg, serta mampu berkembang biak secara mandiri
dan tumbuh dengan pesat di daerah tersebut.
2. Daerah Dataran Rendah
Di daerah dataran rendah, penelitian reklamasi telah
berulangkali membuktikan keberhasilan spesies tanaman asli untuk melakukan
kolonisasi secara pesat dan alami di atas tanah yang mengandung tailing. Tanah
yang mengandung tailing sangat cocok untuk ditanami sejumlah tanaman pertanian
apabila tanah tersebut diperbaiki dengan menambahkan karbon organik. Tujuan
dari program reklamasi dan penghijauan kembali PT FI di daerah dataran rendah
adalah untuk mengubah endapan tailing pada daerah pengendapan menjadi lahan
pertanian atau dimanfaatkan sebagai lahan produktif lainnya, atau
menumbuhkannya kembali dengan tanaman asli setelah kegiatan tambang berakhir.
Hingga akhir tahun 2005, 138 spesies tumbuhan berhasil ditanam di atas tanah
yang mengandung tailing. Beberapa spesies tanaman yang berhasil di uji coba
hingga saat ini termasuk tanaman kacang-kacangan penutup tanah untuk dijadikan
pakan ternak; pohon-pohon lokal seperti casuarina dan matoa; tanaman pertanian
seperti nanas, melon, dan pisang; serta sayur mayur dan bijih-bijihan seperti
cabai, ketimun, tomat, padi, buncis dan labu. Sejumlah besar spesies tanaman
pangan dan buah-buahan tersebut berhasil dipanen pada tahun 2005.
9. Pemantauan
Lingkungan
Program jangka panjang pemantauan
lingkungan hidup PT FI mengevaluasi potensi dampak yang ditimbulkan oleh
kegiatan pertambangan, dengan secara rutin mengukur mutu air, biologi,
hidrologi, sedimen, mutu udara dan meteorologi di dalam wilayah kegiatan. Pada
tahun 2005, program pemantauan secara keseluruhan tersebut mencakup pengumpulan
hampir 7.500 sampel lingkungan hidup dan pelaksanaan lebih 52.000 analisa
secara terpisah terhadap sampel-sampel tersebut, termasuk biologi akuatik,
jaringan akuatik, jaringan tumbuhan, air tambang, air permukaan, air tanah, air
limbah sanitasi, sedimen sungai, dan tailing.
10. Audit
Lingkungan
Sebuah audit independen eksternal tiga tahunan terhadap
lingkungan telah dilakukan oleh Montgomery Watson Harza dalam rangka memenuhi
salah satu komitmen PT FI yang tertuang dalam dokumen Analisa Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) yang telah disetujui Pemerintah Indonesia pada tahun 1997.
Audit tersebut menyimpulkan bahwa kegiatan pertambangan PTFI “termasuk kegiatan
terbesar di dunia dengan tingkat tantangan dan kerumitan lingkungan yang
terbesar pula” dan bahwa “praktik-praktik pengelolaan lingkungan yang dilakukan
oleh perusahaan tersebut masih tetap didasarkan atas (dan dalam beberapa hal
mewakili) praktik-praktik pengelolaan terbaik untuk industri internasional
penambangan tembaga dan emas.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar