Sabtu, 24 Maret 2012

JURNAL FREEPORT


PENDAHULUAN
Kepentingan usaha pertambangan dan pelestarian lingkungan tak ubahnya bagaikan sebuah paradoks. Di satu sisi pertambangan dibutuhkan demi pembangunan, tetapi di sisi lain lingkungan menjadi rusak akibat aktivitas pertambangan yang tidak menerapkan teknologi yang ramah lingkungan bersamaan dengan pengelolaan lingkungan yang baik.
Dampak kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan pertambangan salah satunya adalah pembuangan tailing ke perairan atau daratan. Ketika tailing dari hasil pertambangan dibuang di badan air atau daratan limbah unsur pencemar kemungkinan tersebar di sekitar wilayah tersebut dan dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.
Bahaya pencemaran lingkungan oleh arsen (As), merkuri (Hg), timbal (Pb), dan kadmium (Cd) mungkin terbentuk jika tailing yang mengandung unsur-unsur tersebut tidak ditangani secara tepat. Terutama di wilayah tropis dimana tingginya tingkat pelapukan kimiawi dan aktivitas biokimia akan menunjang percepatan mobilisasi unsur-unsur berpotensi racun. Salah satu akibat yang merugikan dari arsen bagi kehidupan manusia adalah apabila air minum mengandung unsur tersebut melebihi nilai ambang batas; dengan gejala keracunan kronis yang ditimbulkannya pada tubuh manusia berupa iritasi usus, kerusakan syaraf dan sel.
Salah satu perusahaan tambang di Indonesia yang banyak memberikan kerusakan bagi lingkungan akibat limbah tailing-nya adalah PT. Freeport yang merupakan tambang emas terbesar di dunia dengan cadangan terukur kurang lebih 3046 ton emas, 31 juta  ton tembaga, dan 10 ribu ton lebih perak tersisa di pegunungan Papua.
            Prediksi  buangan tailing dan limbah batuan hasil pengerukan cadangan terbukti hingga 10  tahun ke depan adalah 2.7 milyar ton. Sehingga untuk keseluruhan produksi di  wilayah cadangan terbukti, PT. Freeport Indonesia akan membuang lebih dari 5 milyar ton limbah  batuan dan tailing.  Untuk menghasilkan 1  gram emas di Grasberg, yang merupakan wilayah paling produktif, dihasilkan kurang lebih 1.73 ton limbah batuan dan 650 kg tailing. Bisa dibayangkan, jika Grasberg mampu menghasilkan 234 kg emas setiap hari, maka akan dihasilkan kurang  lebih 15 ribu ton tailing per hari. Jika dihitung dalam waktu satu tahun  mencapai lebih dari 55 juta ton tailing dari satu lokasi saja.

PT. FREEPORT
PT. Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.. Perusahaan ini adalah pembayar pajak terbesar kepada Indonesia dan merupakan perusahaan penghasil konstentrat emas dan tembaga terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Dalam melakukan eksplorasi di dua tempat tersebut PT. Freeport melakukan perjanjian kontrak sebanyak dua kali dengan pemerintah Indonesia. Perbandingan kontrak karya I dan II adalah pada kontrak karya I luas arena kawasan pertambangan adalah 27.000 acres (11 ribu Ha) dengan jangka waktu 30 tahun, terhitung dari tahun 1967 sampai 1997. Fasilitas fiskalnya antara lain, pajak hariannya selama 3 tahun setelah berproduksi dan tidak ada royalti sampai tahun 1986. Kewajiban fiskalnya yaitu, pajak penghasilannya selama tahun 1976-1983 sebesar 35% dan pada tahun 1983-kontrak berakhir sebesar 41,75%. Sedangkan kewajiban royaltinya sejak tahun 1986 untuk tembaga sebesar 1,5-3,5% serta 1% untuk emas dan perak. Kepemilikannya sebesar 100% oleh pihak asing sejak tahun 1967-1986 dan 0,5% oleh pihak pemerintah Indonesia serta 91,5 FCX pada tahun 1986 sampai masa kontrak berakhir.
Sedangkan pada kontrak karya ke II luas arena kawasan pertambangan adalah 6,5 juta acres (26 juta Ha) dengan jangka waktu 30 tahun, terhitung dari tahun 1991 sampai 2021 dan kemudian diperpanjang 20 tahun hingga tahun 2041. Dalam kontrak karya II tidak ada fasilitas fiskal, namun kewajiban fiskalnya antara lain, pajak penghasilan 35%, pajak dividen dan interest 15%, iuran tetap untuk wilayah KK, pajak penghasilan karyawan, PPn dan pajak barang mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, pungutan, pajak, beban dan bea pemda serta bea pungutan lainnya. Kewajiban royaltinya sejak tahun 1986 untuk tembaga sebesar 1,5-3,5% serta 1% untuk emas dan perak. Sedangkan kepemilikannya 81,28% oleh FCX, 9,36% oleh pemerintah Indonesia dan 9,36% oleh PT. Indocopper Investama.
Dalam sejarah dan perkembangannya, PT. Freeport Indonesia (PTFI) memulai operasional penambangannya setelah diresmikan melalui penanda tanganan Kontrak Karya dengan pemerintah Indonesia, yang lalu berkembang hingga konstruksi skala besar yang lalu dilanjutkan hingga ekspor perdana konsentrat emas dan tembaga yang pada saat itu operasional penambangan masih dilakukan di areal bijih Ertsberg. Berkembangnya industri penambangan PTFI ini semakin melejit setelah ditemukannya cadangan – cadangan bijih baru kelas dunia seperti Grasberg oleh para geologist.
 Namun PT. Freeport Indonesia secara langsung telah memberikan nilai plus dalam devisa Negara Indonesia, dalam bentuk dividend dan royalty yang besar melalui pembayar pajaknya. PTFI juga memberikan manfaat yang tidak langsung dalam bentuk upah, gaji, dan tunjanngan serta reinvestasi dalam negeri, pembelian barang dan jasa, serta pembangunan daerah donasi. Berikut adalahpemegang saham yang berada di PT. Freport:   
·         Freeport-McMog Ran Copper & Gold Inc. (AS) - 81,28%
·         Pemerintah Indonesia - 9,36%
·         PT. Indocopper Investama - 9,36%

Bahan Tambang yang Dihasilkan PT. Freport adalah:

-Tembaga
-Emas
-Silver
-Molybdenum
-Rhenium
Selama ini hasil bahan yang di tambang tidaklah jelas karena hasil tambang tersebut di kapalkan ke luar indonesia untuk di murnikan sedangkan molybdenum dan rhenium adalah merupakan sebuah hasil samping dari pemrosesan bijih tembaga.

A.     OPERATIONAL PERUSAHAAN
Dalam operasi pertambangan PT. Freeport Indonesia diterapkan 2 sistem motde penambangan yaitu Penambangan Terbuka (Surface Mining) dan Pertambangan Bawah Tanah (Undergroun Mining).
·         OPERASIONAL TAMBANG TERBUKA GRASBERG
Tubuh bijih Grasberg ditambang dengan menggunakan cara penambangan terbuka, yang cocok untuk Grasberg karena keberadaannya yang dekat dengan permukaan. Dengan penambangan terbuka, maka dimungkinkan pengerahan peralatan berat untuk pekerjaan tanah yang sangat besar, yang mampu mencapai tingkat penambangan yang tinggi pada biaya satuan yang paling rendah.
Pada tambang terbuka Grasberg digunakan peralatan shovel dan truk besar untuk menambang bahan. Bahan tersebut termasuk klasifikasi bijih atau limbah, tergantung dari nilai ekonomis bahan tersebut.
Alat shovel menggali bahan pada daerah-daerah berbeda di dalam tambang terbuka, dan memuat bahan ke atas truk angkut untuk dibawa keluar tambang terbuka. Bijih ditempatkan ke dalam alat penghancur bijih dan diangkut ke pabrik pengolahan (mill) untuk diproses. Batuan limbah (overburden) dibuang dengan truk ke daerah-daerah penempatan yang telah ditentukan, atau ke dalam alat penghancur OHS pada jalan HEAT untuk ditempatkan di Wanagon Bawah di samping alat penimbun (stacker).
Sarana-sarana utama yang ada pada lokasi tambang terbuka termasuk operasional kereta gantung, bengkel-bengkel perawatan, tambang batu gamping dan pabrik pemrosesan, serta fungsi pendukung lainnya dan perkantoran.
·         OPERASIONAL TAMBANG BAWAH TANAH
PTFI menggunakan teknik ambrukan pada sistem tambang bawah tanah (Underground Mining) , metode ini biasa disebut dengan metode Block Caving. Block Caving adalah metode penambangan yang bertujuan untuk memotong bagian bawah dari blok bijih pada level undercut sehingga blok bijih tersebut mengalami keruntuhan. Metode ini diterapkan terutama pada blok badan bijih yang besar karena tingkat produksinya yang lebih tinggi. Bidang pada massa batuan dengan ukuran yang sudah di tentukan di ledakan pada tahap level Undercut sehingga massa batuan yang berada diatasnya akan runtuh. Penarikan bijih hasil runtuhan pada bagian bawah kolom bijih menyebabkan proses runtuhan akan berlanjut keatas sampai semua bijih diatas level undercut hancur menjadi ukuran yang sesuai untuk proses selanjutnya dikirim ke pabrik pemroses (mill). PTFI menerapkan Sistem Block Caving ini pada zona – zona tertentu antara lain Gunung Bijih Timur (GBT), Intermediate Ore Zone (IOZ), Deep Ore Zone (DOZ), Mill Level Zone (MLZ), East Stockwork Zone (ESZ).
Analisis Limbah P.T. Freeport Indonesia
http://www.ptfi.com/operation/images/grasberg01.jpgSumbangan  Freeport terhadap bangkrutnya kondisi alam dan lingkungan sangatlah  besar. Menurut perhitungan WALHI pada  tahun 2001, total limbah batuan yang dihasilkan PT. Freeport Indonesia mencapai 1.4 milyar ton. Masih ditambah lagi, buangan limbah tambang (tailing) ke sungai Ajkwa sebesar  536 juta ton. Total limbah batuan dan tailing PT Freeport mencapai hampir 2 milyar ton lebih.
Freeport tidak memenuhi perintah membangun bendungan penampungan tailing yang sesuai dengan standar teknis legal untuk bendungan, namun masih menggunakan tanggul (levee) yang tidak cukup kuat. Selain itu Freeport mengandalkan izin yang cacat hukum dari pegawai pemerintah setempat untuk menggunakan sistem sungai dataran tinggi untuk memindahkan tailing.
Berdasarkan  analisis citra LANDSAT TM tahun 2002 yang dilakukan oleh tim WALHI, limbah tambang (tailing) Freeport tersebar seluas 35,000 ha lebih di DAS Ajkwa. Limbah tambang masih menyebar  seluas 85,000 hektar di wilayah muara laut, yang jika keduanya dijumlahkan  setara dengan Jabodetabek.  Total sebaran  tailing bahkan lebih luas dari pada luas area Blok A (Grasberg) yang saat ini  sedang berproduksi. Peningkatan produksi selama 5 tahun hingga 250,000 ton bijih perhari dapat diduga memperluas sebaran tailing, baik di sungai maupun  muara sungai. Freeport  tidak lagi menyebutkan Ajkwa sebagai sungai, tetapi sebagai wilayah tempatan  tailing yang “disetujui” oleh Pemerintah Republik Indonesia. Freeport  bahkan  menyebutkan Sungai Ajkwa sebagai  sarana transportasi dan pengolahan tailing hal mana sebetulnya bertentangan dengan hukum di Indonesia.
Freeport mencemari sistem sungai dan lingkungan muara sungai, yang melanggar standar baku mutu air sepanjang tahun 2004 hingga 2006. Dan yang tidak kalah parah adalah membuang Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage) tanpa memiliki surat izin limbah bahan berbahaya beracun. Buangan Air Asam Batuan sudah sampai pada tingkatan yang melanggar standar limbah cair industri, membahayakan air tanah, dan gagal membangun pos-pos pemantauan seperti yang telah diperintahkan.
Kandungan logam berat tembaga (Cu) yang melampaui ambang batas yang diperkenankan. Kandungan tembaga terlarut dalam efluent air limbah Freeport yang dilepaskan ke sungai maupun ke Muara S. Ajkwa 2 kali lipat dari ambang yang diperkenankan. Sementara itu untuk kandungan padatan tersuspensi (Total Suspended Solid) yang dibuang 25 kali lipat dari yang diperkenankan.
Sistem pembuangan limbah Freeport mengancam mata rantai makanan yang terindikasi kewat kandungan logam berat yaitu selenium (Se), timbal (Pb), arsenik (As), seng (Zn), mangan (Mn), dan tembaga (Cu) pada sejumlah spesies kunci yaitu: burung raja udang, maleo, dan kausari serta sejumlah mamalia yang kadangkala dikonsumsi penduduk setempat. Sistem pembuangan limbah Freeport menghancurkan habitat muara sungai Ajkwa secara signifikan. Hal ini diindikasikan oleh peningkatan kekeruhan muara dan tersumbatnya aliran ke muara. Dalam jangka panjang wilayah muara seluas 21 sampai 63 Km persegi akan rusak.

Dampak Pencemaran Limbah P.T. Freeport Indonesia
·         Limbah Tambang
Tailing adalah bahan-bahan yang dibuang setelah proses pemisahan material berharga dari material yang tidak berharga dari suatu bijih. Tailing yang merupakan limbah hasil pengolahan bijih sudah dianggap tidak berpotensi lagi untuk di manfaatkan, akan tetapi dengan hasil penelitian dan kemanjuan teknologi saat ini tailing tersebut masih dapat dimanfaatkan untuk bahan bangunan.
Keberadaan tailing dalam dunia pertambangan tidak bisa dihindari, dari penggalian atau penambangan yang dilakukan hanya < 3% bijih menjadi produk utama, produk sampingan, sisanya menjadi waste dan tailing. Secara fisik komposisi tailing terdiri dari 50% fraksi pasir halus dengan diameter 0,075 – 0,4 mm, dan sisanya berupa fraksi lempung dengan diameter 0,075 mm. Umumnya tailing hasil penambangan mengandung mineral yang secara langsung tergantung pada komposisi bijih yang diusahakan.
Tailing hasil penambangan emas umumnya mengandung mineral inert (tidak aktif) seperti; kuarsa, kalsit dan berbagai jenis aluminosilikat, serta biasanya masih mengandung emas. Tailing hasil penambangan emas mengandung salah satu atau lebih bahan berbahaya beracun seperti; Arsen (As), Kadmium (Cd), Timbal (pb), Merkuri (Hg) Sianida (Cn) dan lainnya. Logam-logam yang berada dalam tailing sebagian adalah logam berat yang masuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun  (B3)  Mineral berkadar belerang tinggi dalam tailing sering menjadi satu sumber potensial bagi timbulnya air asam tambang.
Pemanfaatan Tailing
Dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang pesat, dan untuk memenuhi tuntutan hidup serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat, perlu diimbangi dengan peningkatan kebutuhan akan perumahan, infratruktur, dan sarana penunjang kegiatan sehari-hari seperti perkantoran, sekolah, pasar dan lainnya. Industri konstruksi ini membutuhkan sumber daya alam yang besar seperti, pasir, gamping, alumunium, besi dan juga kayu. Eksploitasi sumber daya alam ini akan menyebabkan rusaknya hutan, lahan pertanian, dan tentunya berkurangnya sumber daya alam. Salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan cara meningkatkan pemanfaatan tailing sebagai bahan bangunan.
Pengembangan bahan bangunan dari tailing ini selain dapat menunjang kebutuhan pembangunan juga dapat memecahkan masalah lingkungan yang selanjutnya produk ini dapat dikategorikan sebagai bahan bangunan ekologis
Pemanfaatan tailing untuk bahan bangunan atau konstruksi, telah dilakukan oleh beberapa negara termasuk Indonesia melalui penelitian-penelitian, diantaranya :
a. Tailing sebagai material konstruksi ringan
Tailing hasil tambang bijih porpiri di Negara Bagian Arizona, Amerika Serikat, telah dimanfaatkan untuk membuat suatu material konstruksi kelas ringan, yang dikenal secara umum sebagai autoclaved aerated cement , disingkatan AAC dengan bahan baku utama silika (SiO2). Tambang porpiri di negara bagian ini umumnya batuan induknya berupa batuan silika, sehingga jumlah pasir silika cukup berlimpah. Ukuran butir dari pasir silikanya bundar kecil yang pada hakekatnya setara dengan ukuran bentuk butir silika yang di haruskan untuk menghasilkan material bangunan ringan AAC.
Material bangunan ringan AAC dengan bahan baku pasir silika dari tailing tersebut, mempunyai sifat sebagai isolator panas yang sangat baik, bahan kedap suara dan material dengan kualitas yang diinginkan serta sebanding dengan material bahan bangunan AAC yang menggunakan pasir silika yang bersumber dari bahan material bukan tailing. (www.freepatentsonline.com)
b. Bahan bangunan dan keramik
Ahli geologi dan tambang dari tambang Idaho-Maryland, USA, menemukan suatu proses penghalusan dari tailing atau batuan limbah dari tambang tersebut untuk dibuat material bahan bangunan dan keramik, melalui proses CeramextTM. Poses ini dilakukan pada tekanan pada ruangan hampa yang dipanaskan (Idaho-Maryland Mining Corp, 2008).
c. Tailing untuk pembuatan batu bata
Di daerah pedesaan negara Jamaica, pembangunan perumahan sangat kurang dikarenakan mahalnya bahan bangunan. Jamaica Bauxite Institute, bekerjasama dengan Universitas Toronto, mengembangkan bahan bangunan berupa batu bata yang murah dengan menggunakan tailing hasil industri aluminium negeri itu (Dennis Morr and Wesley Harley).
d. Tailng untuk pembuatan semen kekuatan tinggi, keramik, batubata.
Pada tahun 1990, Akademi Ilmu Geologi Cina mendirikan Pusat Teknik untuk pemanfaatan tailing, dan merupakan yang pertama di Negeri China, untuk melakukan penyelidikan daerah tailing yang prospek untuk dimanfaatan kembali. Lembaga ini menganalisa sifat-sifat sumber daya dan potensi dari berbagai jenis tailing, dan mengembangkan teknologi untuk membuat sejumlah produk-produk yang berharga dari tailing. Produk-produk ini termasuk semen kekuatan tinggi, bahan bangunan keramik, batu bata, dan bahan-bahan hiasan yang dibuat dari granit (web@acca21.edu.cn).
e. Tailing sebagai campuran beton
PT Freeport Indonesia bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung telah berhasil membuat beton dengan bahan dasar tailing dari pertambangan tembaga, dan emas, dan merupakan hasil penelitian beberapa tahun. Penggunaan tailing sebagai bahan dasar pembuatan beton telah dilakukan pada tahun 2001 untuk pembangunan jalan menuju tambang Gresberg di M.28 (foto 1), pembangunan jembatan S. Kaoga (foto 2), dan beberapa konstruksi lainnya. Beton ini disebut Beton Polimer dengan komposisi semen portland 29,4%, polimer 0,6 %, dan tailing 70%, dan telah memperoleh sartifikat Pengujian dari Departemen KIMPRASWIL pada tahun 2004 (PT Freeport Indonesia, 2006). Saat ini tailing juga telah digunakan untuk bahan bangunan untuk pembangunan perumahan karyawan.
f. Tailing untuk membuat paving block
Penelitian yang dilakukan oleh Tim KPP Konservasi di P. Bintan, mengungkapkan bahwa tailing hasil pencucian bauksit telah dicoba untuk dibuat bahan bangunan oleh ex karyawan PT Aneka Tambang di P. Bintan, dan berhasil baik. Prosesnya sederhana, tailing hasil pencucian bauksit, dicuci kembali untuk menghilangkan sisa air laut yang terdapat pada tailing, kemudian di saring. Dengan tambahan semen, kemudian dengan alat sederhana (foto 3) dicetak menjadi batako (foto 4), dan paving block (foto 5). Hasil inovatif tersebut telah digunakan untuk pembatas jalan, dan tembok pagar masjid yang terletak di komplek perkantoran PT Aneka Tambang (foto 6). dan banyak diminati oleh rakyat setempat karena murah.
Overburden dan Air Asam Tambang
Overburden adalah batuan yang harus dikupas agar bijih yang ditambang dapat dijangkau dan diolah untuk diambil logamnya untuk keperluan komersial. Banyak logam terdapat di alam dalam bentuk mineral sulfida. Pada saat bijih ditambang dan overburden yang mengandung sulfida terpapar, maka reaksi air,oksigen dan bakteri alami berpotensi membentuk asam belerang. Air bersifat asam tersebut dapat melarutkan logam yang terkandung di dalam batuan overbuden dan terbawa dalam sistem pembuangan air, dan apabila tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Proses tersebut dikenal dengan nama air asam tambang.
Cara mengatasi overbuden
Di dalam pengelolaan asam tambang diperlukan pengawasan agar tidak terjadi penyelewengan di dalam pengelolaannya, karena di dalam pengelolaan pada tambang ditakutkan terdapat penyelengan yang di lakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab apalagi perusahaan sebesar PT.Freeport. cara yang laen yaitu dengan cara menempatkan overburden pada daerah-daerah terkelola di sekitar tambang terbuka Grasberg. Atau dengan cara dilakukan  penampung dan pengolahan air asam tambang yang ada, bersamaan upaya proses pencampuran dengan batu gamping dan penutupan daerah penempatan overburden dengan batu gamping guna mengelola pembentukan air asam tambang di masa datang.

Upaya Penanganan Limbah berdasarkan Strategi Pengelolaan Lingkungan Hidup
Sesuai dengan maksud dari strategi pengelolaan kualitas lingkungan adalah cara untuk menentukan kualitas lingkungan yang lebih baik, maka ada 5 cara yang dapat dilakukan :
1.      Tata letak lokasi ruang
2.      Teknologi, menerapkan teknologi bersih
3.      Sistem Pengelolaan limbah
4.      Pengelolaan Media Lingkungan
5.      Perubahan Baku Mutu
Berikut ini akan dibahas kelimanya....
1.      Tata Letak Lokasi
Pertama, tata letak lokasi ruang. Dilihat dari lokasi penambangan utama P.T. Freeport Indonesia Blok A Grassberg yang berada di ketinggian 4200 m di permukaan laut. Lokasi penambangan P.T. Freeport Indonesia adalah berupa gunung cadas yang kaya akan mineral tambang. Tetapi, dilihat dari ketinggiannya yang berada 4200 meter di atas permukaan laut, lokasi penambangan ini tentu saja merupakan kawasan yang ditopang oleh ekosistem di bawahnya. Jadi, apabila kawasan ini terganggu maka akan merusak keseimbangan ekosistem yang berada di bawahnya. Jadi seharusnya, apabila akan dilakukan penambangan di lokasi penambangan P.T. Freeport Indonesia yang sekarang maka harus dilakukan studi mengenai dampak kerusakan lingkungan yang akan terjadi yang dilakukan secara komprehensif dan mendalam. Jelas, hal ini tidak dilakukan oleh P.T. Freeport maupun oleh Pemerintah Indonesia yang dalam hal ini sebagai pemilik wilayah.
2.      Penerapan Teknologi Bersih
Kedua, penerapan teknologi bersih dalam penambangan. Tentu sangat sulit menerapkan teknologi bersih dalam kasus P.T. Freeport. Karena untuk menghasilkan 1  gram emas di Grassberg, yang merupakan wilayah paling produktif, dihasilkan kurang lebih 1.73 ton limbah batuan dan 650 kg tailing. Bisa dibayangkan, jika Grasberg mampu menghasilkan 234 kg emas setiap hari, maka akan dihasilkan kurang  lebih 15 ribu ton tailing per hari. Jika dihitung dalam waktu satu tahun  mencapai lebih dari 55 juta ton tailing dari satu lokasi saja. Sejak tahun 1995, jumlah batuan limbah yang telah dibuang sebanyak 420 juta ton. Di akhir masa tambang, jumlah total limbah batuan adalah 4 milyar ton. Di akhir masa tambang ketinggian tumpukan limbah batuan adalah 500 meter. Diperkirakan, tambang Grasberg harus membuang 2,8 milyar ton batuan penutup hingga penambangan berakhir tahun 2041.
Melakukan efisiensi konversi bahan dalam kegiatan pertambangan merupakan hal yang hamper mustahil dilakukan karena pada dasarnya, kegiatan pertambangan adalah kegiatan eksploitasi sumber daya alam besar-besaran. Dalam kasus P.T. Freeport, yang dapat dilakukan hanyalah meyimpan lapisan tanah atas (top soil) hasil pengupasan yang dilakukan untuk mendapatkan mineral tambang (ore) di bawahnya untuk menutup kembali dan penghijauan lokasi pertambangan yang sudah tidak produktif lagi nantinya.
3.      Sistem Pengelolaan Limbah
Sistem pengelolaan limbah yang dilakukan P.T. Freeport Indonesia saat ini adalah limbah batuan akan disimpan pada ketinggian  4200 m di sekitar Grassberg. Total ketinggian limbah batuan akan mencapai lebih dari 200 meter pada tahun 2025. Sementara limbah tambang secara sengaja dan terbuka akan dibuang ke  Sungai Ajkwa yang dengan tegas disebutkan sebagai wilayah penempatan tailing sebelum mengalir ke laut Arafura.
Tempat penyimpanan limbah batuan dilakukan di Danau Wanagon. Danau Wanagon bukanlah danau seperti dalam bayangan umum. Wanagon lebih tepat disebut basin (kubangan air besar) yang terbentuk dari air hujan. Sejak PT Freeport Indonesia (FI) menambang mineral di Grasberg tahun 1992, Wanagon dipilih sebagai lokasi pembuangan batuan penutup (overburden) yang menutupi mineralnya (ore).
Penggunaan Danau Wanagon menjadi tempat penimbunan limbah batuan telah merupakan pencemaran air dan merubah fungsi danau yang menjadi sumber air bagi masyarakat sekitarnya, seperti dari Desa Banti/Waa. P.T. Freeport dan pemerintah Indonesia telah melanggar peraturan yang terkait dengan pembuangan limbah tersebut ke Danau Wanagon, diantaranya adalah :
1.      UU no. 4 tahun 1982 yang telah dirubah menjadi UU no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
2.      PP no. 20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air.
3.      PP no. 18 tahun 1994 jo PP no. 85 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3. Dari penjelasan di atas jelas dikatakan bahwa limbah batuan Grasberg merupakan limbah B3 karena mengandung logam berat. Dalam pasal 3 menyatakan "Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan limbah B3 dilarang membuang limbah B3 yang dihasilkannya itu secara langsung ke dalam media lingkungan bidup tanpa pengolahan terlebih dahulu" dan pasal 29 ayat 2 menyatakan bahwa "Tempat penyimpanan limbah B3 sebagaimana dimaksud paa ayat 1 wajib memenuhi syarat : a). lokasi tempat penyimpanan yang bebas banjir, tidak rawan bencana, dan di luar kawasan lindung serta sesuai dengan rencana tata ruang. B). rancangan bangunan disesuaikan dengan jumlah, karakteristik limbah B3 dan upaya pengendalian pencemaran lingkungan".
4.      Kemudian berdasarkan PP 18 tahun 1994 jo PP 85 tahun 1999 jelas pembuangan limbah batuan yang merupakan limbah B3 secara langsung ke Danau Wanagon merupakan pelanggaran hukum.
Selain itu, penggunaan Sungai Ajkwa sebagai wilayah penempatan tailing sebelum mengalir ke laut Arafura adalah permasalahan lainnya. Freeport  tidak lagi menyebutkan Ajkwa sebagai sungai, tetapi sebagai wilayah tempatan  tailing yang “disetujui” oleh Pemerintah Republik Indonesia. Freeport  bahkan  menyebutkan Sungai Ajkwa sebagai  sarana transportasi dan pengolahan tailing hal mana sebetulnya bertentangan dengan hukum di Indonesia.
4.      Pengelolaan Media Lingkungan
Pengelolaan media lingkungan agar media lingkungan mempunyai daya dukung lebih tinggi tidak dilakukan oleh P.T. Freeport. Penggunaan Sungai Ajkwa sebagai ADA (Ajkwa Deposition Area) untuk mengalirkan limbah tailing sebelum dialirkan ke Laut Arafura dan menumpuk limbah batuan (overburden) di Danau Wanagon adalah contohnya. Tanpa melakukan modifikasi media lingkungan dan bahkan tanpa pengolahan sedikitpun, P.T. Freeport membuang begitu saja limbah-limbah tersebut.
Sekarang, sangat sulit dan hampir tidak mungkin untuk mengembalikan Sungai Ajkwa dan Danau Wanagon ke fungsi ekologis seperti sediakala. Proses Sedimentasi yang terjadi di sepanjang DAS Ajkwa dan tumpukan  limbah batuan yang berada di Danau Wanagon suddah terlalu parah. Bahkan, di Danau Wanagon saat ini yang tersisa hanyalah batuan dan pasir. Tidak tersisa sedikitpun pemandangan yang menunjukkan kalau tadinya Wanagon adalah suatu tempat yang mempunyai fungsi ekologis sebagai danau.
5.      Perubahan Baku Mutu
Melakukan perubahan baku mutu yang dilakukan apabila daya dukung lingkungan yang ada tidak dapat mencerna bahan-bahan luar atau limbah yang masuk ke dalam lingkungan tersebut. Cara ini sudah tidak mungkin dilakukan pada kasus P.T. Freeport yang sudah sedimikian rupa. Kandungan tembaga (Cu) serta TSS (Total Suspended Solids) yang ada sudah jauh melebihi batas yang diperbolehkan. Di bawah ini terdapat tabel yang menggambarkan parameter pencemar di Sungai Ajkwa.
• Sungai Ajkwa Bagian Bawah (Lower Ajkwa River) mengandung 28 hingga 42 mikro gram
per liter (µg/L) tembaga larut (dissolved copper), dua kali lipat melebihi batas legal untuk air
tawar si Indonesia yaitu 20 µg/L, dan jauh melampaui acuan untuk air tawar yang diterapkan pemerintah Australia, yaitu 5,5 µg/L. Lebih jauh ke hilir, kandungan tembaga larut pada air tawar sebelum Muara Ajkwa juga melanggar batas dengan 22 – 25 µg/L dan bisa mencapai 60 µg/L.
• Untuk kondisi air laut di Muara Ajkwa Bagian Bawah, standar ASEAN dan Indonesia untuk tembaga larut adalah 8 µg/L, dan acuan pemerintah Australia adalah 1,3 µg/L. Pencemaran Freeport-Rio Tinto di daerah ini juga melebihi batas legal: kandungan tembaga larut mencapai rata-rata 16 µg/L dengan rentang tertinggi 36 µg/L. Batas legal total padatan tersuspensi (total suspended solids, TSS) dalam air tawar adalah 50 mg/L. Sedangkan tailing yang mencemari sungai-sungai di dataran tinggi memiliki tingkat TSS mencapai ratusan ribu mg/L. Tigapuluh kilometer masuk ke dataran rendah Daerah Pengendapan Ajkwa, tingkat TSS di Sungai Ajkwa bagian Bawah mencapai seratus kali lipat dari batas legal. Lebih jauh ke hilir dari ADA, di Muara Ajkwa bagian bawah, TSS mencapai 1.300 mg/L, 25 kali lipat melampaui batas. Mutu air di perairan hutan bakau di Muara Ajkwa juga 10 kali lipat melampaui batas legal untuk TSS di lingkungan air laut (80 mg/L), dengan TSS rata-rata 900 mg/L.
Demi mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah di masa datang, sekali lagi Walhi meminta pemerintah untuk melaksanakan pengambilan sampel secara berkala dan cermat, daripada mengandalkan laporan dari perusahaan. Pemerintah juga harus menerbitkan semua informasi lingkungan pada masyarakat sesuai Undang-undang Lingkungan Hidup (1997). Mengkaji ulang peraturan pajak dan royalti demi meningkatkan keuntungan bagi komunitas yang terkena dampak, propinsi Papua, demi mengurangi beban kerusakan lingkngan sejauh ini.
Membentuk Panel Independen untuk memetakan sejumlah skenario bagi masa depan Freeport, termasuk tanggal penutupan, pengolahan (processing) dan pengelolaan limbah. Kemudian pemerintah harus menyewa konsultan independen untuk mengkaji setiap skenario dari segi sosial dan teknis secara rinci dan independen. Kajian ini kemudian harus digunakan sebagai dasar untuk pembahasan mengenai masa depan tambang oleh penduduk lokal dan pihak berkepentingan lainnya.
6.      Pengelolaan dan Daur Ulang Limbah
            Limbah, termasuk limbah berbahaya (B3) dalam jumlah kecil, dipilah-pilah pada titik pengumpulan asal. Pengumpulan, pengemasan, penyimpanan limbah B3 yang dihasilkan dari pekerjaan ujicoba terhadap sampel bijih logam, laboratorium analitis, dan proses-proses lainnya dikelola dengan menaati ketentuan Pemerintah Indonesia. Limbah B3 dipilah dan disimpan di gudang-gudang khusus hingga pada saatnya dikirim ke instalasi pembuangan limbah berbahaya lainnya di Indonesia yang telah disetujui. Limbah medis dipilah dari limbah lainnya dan ditempatkan di dalam wadah khusus untuk pemusnahan akhir pada instalasi insinerator limbah medis bersuhu tinggi yang sudah ada izinnya dan berada di lokasi.
7.      Penutupan Tambang
            PT Freeport Indonesia mempunyai rencana penutupan tambang yang merupakan analisa dan strategi terbaru untuk pengelolaan penutupan. Adapun strategi penutupan yang dianut PT Freeport Indonesia secara keseluruhan adalah mengidentifikasi, memantau dan mengurangi dampak, baik terhadap lingkungan maupun sosial, melalui program-program pengelolaan yang tengah berjalan selama tahapan operasional. Hal ini guna menjamin agar proses decommissioning (penutupan kegiatan dan sarana), reklamasi dan kegiatan pemantauan lingkungan yang diperlukan pada saat penutupan dan bahwa selama tahapan pasca penutupan, seluruh kegiatan dapat dikelola dengan efektif; dampak penutupan tambang terhadap ekonomi dan masyarakat setempat dapat dikelola dengan baik, dan serah-terima setiap aset yang tersisa, berikut pengalihan tanggung jawab atas kawasan tambang tersebut kepada pemerintah Indonesia dapat berjalan lancar dan efisien.
8.      Reklamasi dan Penghijauan Kembali
1. Daerah Dataran Tinggi
            Kajian-kajian intensif yang telah dilakukan berhasil mengidentifikasi jenis-jenis tanaman dataran tinggi yang dapat tumbuh subur di atas lahan reklamasi, dan penelitian saat ini dilakukan dirancang untuk menemukan cara meningkatkan daya tahan spesies-spesies tersebut pada kondisi yang sulit. Titik berat penelitian yang dilakukan selama tahun 2005 adalah peran iklim setempat dalam pembentukan lumut serta suksesi alami yang cepat pada daerah penempatan akhir overburden. Adapun manfaat dari transplantasi diamati dari keberhasilan menumbuhkan tanaman alami yang dihasilkan dan/atau diperkenalkan lewat transplantasi pada daerah uji coba. Spesies-spesies asli Deschampsia klossii, Anaphalis helwigii dan berbagai herba asli terbukti dapat diprediksi dan memilih daya tahan sangat tinggi terhadap kondisi di Grasberg, serta mampu berkembang biak secara mandiri dan tumbuh dengan pesat di daerah tersebut.
2. Daerah Dataran Rendah
Di daerah dataran rendah, penelitian reklamasi telah berulangkali membuktikan keberhasilan spesies tanaman asli untuk melakukan kolonisasi secara pesat dan alami di atas tanah yang mengandung tailing. Tanah yang mengandung tailing sangat cocok untuk ditanami sejumlah tanaman pertanian apabila tanah tersebut diperbaiki dengan menambahkan karbon organik. Tujuan dari program reklamasi dan penghijauan kembali PT FI di daerah dataran rendah adalah untuk mengubah endapan tailing pada daerah pengendapan menjadi lahan pertanian atau dimanfaatkan sebagai lahan produktif lainnya, atau menumbuhkannya kembali dengan tanaman asli setelah kegiatan tambang berakhir. Hingga akhir tahun 2005, 138 spesies tumbuhan berhasil ditanam di atas tanah yang mengandung tailing. Beberapa spesies tanaman yang berhasil di uji coba hingga saat ini termasuk tanaman kacang-kacangan penutup tanah untuk dijadikan pakan ternak; pohon-pohon lokal seperti casuarina dan matoa; tanaman pertanian seperti nanas, melon, dan pisang; serta sayur mayur dan bijih-bijihan seperti cabai, ketimun, tomat, padi, buncis dan labu. Sejumlah besar spesies tanaman pangan dan buah-buahan tersebut berhasil dipanen pada tahun 2005.

9.      Pemantauan Lingkungan
Program jangka panjang pemantauan lingkungan hidup PT FI mengevaluasi potensi dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan, dengan secara rutin mengukur mutu air, biologi, hidrologi, sedimen, mutu udara dan meteorologi di dalam wilayah kegiatan. Pada tahun 2005, program pemantauan secara keseluruhan tersebut mencakup pengumpulan hampir 7.500 sampel lingkungan hidup dan pelaksanaan lebih 52.000 analisa secara terpisah terhadap sampel-sampel tersebut, termasuk biologi akuatik, jaringan akuatik, jaringan tumbuhan, air tambang, air permukaan, air tanah, air limbah sanitasi, sedimen sungai, dan tailing.
10.  Audit Lingkungan
Sebuah audit independen eksternal tiga tahunan terhadap lingkungan telah dilakukan oleh Montgomery Watson Harza dalam rangka memenuhi salah satu komitmen PT FI yang tertuang dalam dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang telah disetujui Pemerintah Indonesia pada tahun 1997. Audit tersebut menyimpulkan bahwa kegiatan pertambangan PTFI “termasuk kegiatan terbesar di dunia dengan tingkat tantangan dan kerumitan lingkungan yang terbesar pula” dan bahwa “praktik-praktik pengelolaan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut masih tetap didasarkan atas (dan dalam beberapa hal mewakili) praktik-praktik pengelolaan terbaik untuk industri internasional penambangan tembaga dan emas.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar